Masyarakat madani
Masyarakat Madani (dalam bahasa Inggris: civil
society) dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam
membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya.[1] Kata madani sendiri
berasal dari bahasa arab yang artinya civil atau civilized (beradab).[1] Istilah
masyarakat madani adalah terjemahan dari civil atau civilized society, yang
berarti masyarakat yang berperadaban.[1] Untuk pertama
kali istilah Masyarakat Madani dimunculkan oleh Anwar Ibrahim,
mantan wakil perdana menteri Malaysia.[2] Menurut Anwar
Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan
kestabilan masyarakat.[2] Inisiatif dari
individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah
yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.[2]
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani
sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan
bersama.[2] Dawam menjelaskan,
dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang
didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan
permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.[2] Masyarakat
Madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis,
menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi,
aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten memiliki bandingan, mampu
berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui, emansipasi, dan hak
asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.[3]
Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial yang akan
melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang berlebihan.[4] Bahkan
Masyarakat madani tiang utama kehidupan politik yang demokratis.[4] Sebab masyarakat
madani tidak saja melindungi warga negara dalam berhadapan dengan negara,
tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.[4]
Sejarah
Filsuf Yunani Aristoteles(384-322) yang memandang civil
society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri.[2] Pandangan ini
merupakan fase pertama sejarah wacana civil society.[2] Pada masa Aristoteles
civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah
‘’koinonia politike’’, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat
terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan.[2] Rumusan civil society
selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M
) dan John Locke (1632-1704),
yang memandangnya sebagai kelanjutan dari evolusi natural society.[2] Menurut Hobbes, sebagai
antitesa Negara civil society mempunyai peran
untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan
mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola
interaksi (prilaku politik) setiap warga Negara.[2] Berbeda dengan John Locke, kehadiran civil society adalah
untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga Negara.[2]==
Fase kedua, pada tahun 1767 Adam
Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan
konteks sosial dan politik di Skotlandia.[2][5] Ferguson,
menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.[2] Pemahamannya ini
lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan
sosial yang mencolok.[2]
Fase ketiga, pada tahun 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil
society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga Negara, bahkan dia dianggap sebagai antitesa
Negara.[2] Menurut pandangan ini,
Negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka.[2] Konsep Negara yang absah,
menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan
oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama.[2] Semakin sempurna sesuatu
masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan
warganya sendiri.[2]
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya
dikembangkan oleh Hegel (1770-1837 M), Karl Marx (1818-1883 M)
dan Antonio Gramsci (1891-1937 M).[2] Dalam pandangan ketiganya
civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan.[2]
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi
terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M).[2] Pemikiran Tocqueville
tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan Negara.[2] Menurut Tocqueville,
kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan
demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.[2] Adapun tokoh yang pertama
kali menggagas istilah civil society ini adalah Adam Ferguson dalam bukunya
”Sebuah Esai tentang Sejarah Masyarakat Sipil’’ (An Essay on The History of
Civil Society) yang terbit tahun 1773 di Skotlandia.[5][6] Ferguson menekankan
masyarakat madani pada visi etis kehidupan bermasyarakat.[6] Pemahamannya ini
digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi
industri dan munculnya kapitalisme, serta mencoloknya perbedaan antara individu.[6]
Konsep Masyarakat Madani
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah.[1] Memiliki banyak arti atau
sering diartikan dengan makna yang berbeda – beda.[1] Bila merujuk pada
pengertian dalam bahasa Inggris,
ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi
dari masyarakat militer.[1]
Istilah
masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan
pada konsep negara-kota Madinah yang
dibangun Nabi Muhammad SAW pada
tahun 622 M.[6] Masyarakat madani juga
mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan
oleh Ibn Khaldun, dan
konsep Al Madinah al Fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama)
yang diungkapkan oleh filsuf Al-Farabi pada abad pertengahan.[6]
Menurut
Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam,
Al Haramain, Piagam Madinah adalah
dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun
kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan
konstitusi sebuah masyarakat.[6] Bahkan, dengan menyetir
pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore,
1958), Piagam Madinah ini
adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.[6] Konstitusi ini secara mencengangkan telah
mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights),
atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi
Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1997), Revolusi Prancis (1789),
dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948)
dikumandangkan.[6]
Sementara
itu konsep masyarakat madani atau dalam khazanah Barat dikenal
sebagai civil society (masyarakat sipil), muncul pada masa pencerahan (Renaissance) di Eropa melalui
pemikiran John Locke dan Emmanuel
Kant.[6] Sebagai sebuah konsep,
civil society berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang
biasanya dipersandingkan dengan konsepsi tentang state (negara).[6] Dalam tradisi Eropa abad
ke-18, pengertian masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the state),
yakni suatu kelompok atau kesatuan yang ingin mendominasi kelompok lain.[6]
==Unsur-unsur
Masyarakat Madani==
Masyarakat
madani tidak muncul dengan sendirinya.[2] Ia menghajatkan unsur-
unsur sosial yang menjadi prasayarat terwujudnya tatanan masyarakat madani.[2] Beberapa unsur pokok yang
dimiliki oleh masyarakat madani adalah:[2]
·
Adanya Wilayah Publik yang Luas
Free Public Sphere adalah ruang publik yang
bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat.[2] Di wilayah ruang publik
ini semua warga Negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan
transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan –
kekuatan di luar civil society.[2]
·
Demokrasi
Demokrasi adalah prasayarat mutlak
lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine).[2] Tanpa demokrasi
masyarakat sipil tidak mungkin terwujud.[2] Demokrasi tidak akan
berjalan stabil bila tidak mendapat dukungan riil dari masyarakat.[5] Secara umum demokrasi
adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari,
dan untuk warga Negara.[2]
·
Toleransi
·
Pluralisme
Kemajemukan
atau pluralisme merupakan prasayarat lain bagi civil society.[2] Pluralisme tidak hanya
dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang
beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan
perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif
bagi kehidupan masyarakat.[2]
·
Keadilan social
Keadilan
sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan
kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik,
pengetahuan dan kesempatan.[2] Dengan pengertian lain,
keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek
kehidupan yang dilakukan
oleh kelompok atau golongan tertentu.[2]
Ciri-ciri Masyarakat Madani
·
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok
eksklusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.[1]
·
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.[1]
·
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara
karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.[1]
·
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri (individualis).[1]
·
Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga
sosial dengan berbagai perspektif.[1]
Pilar Penegak Masyarakat Madani
Pilar
penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari
sosial kontrol yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang
diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.[2] Pilar-pilar tersebut
antara lain:[2]
Lembaga
Swadaya Masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya
masyarakat yang tugas utamanya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang tertindas.[2] LSM dalam konteks
masyarakat madani bertugas mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai
hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengadakan
pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.[2]
·
Pers
Pers
adalah institusi yang berfungsi untuk mengkritisi dan menjadi bagian dari
sosial kontrol yang dapat menganalisis serta mempublikasikan berbagai kebijakan
pemerintah yang berhubungan dengan warga negaranya.[2] Selain itu, pers juga
diharapkan dapat menyajikan berita secara objektif dan transparan.[2]
·
Supremasi Hukum
Setiap
warga negara, baik yang duduk dipemerintahan atau sebagai rakyat harus tunduk
kepada aturan atau hukum.[2] Sehingga dapat mewujudkan
hak dan kebebasan antar warga negara dan antar warga negara dengan pemerintah
melalui cara damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku.[2] Supremasi hukum juga
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu
dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak
asasi manusia.[2]
Perguruan
tinggi merupakan tempat para aktivis kampus (dosen dan mahasiswa) yang menjadi
bagian kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak melalui jalur moral
porce untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan
pemerintah.[2] Namun, setiap gerakan
yang dilakukan itu harus berada pada jalur yang benar dan memposisikan diri
pada real dan realitas yang betul-betul objektif serta menyuarakan kepentingan
masyarakat.[2] Sebagai bagian dari pilar
penegak masyarakat madani, maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari
dan menciptakan ide-ide alternatif dan konstruktif untuk dapat menjawab
problematika yang dihadapi oleh masyarakat.[2]
Partai
Politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi
politiknya.[2] Partai politik menjadi
sebuah tempat ekspresi politik warga negara sehingga partai politik menjadi
prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani.[2]
Referensi
1.
^ a b c d e f g h i j k l Qodri Azizy. 2004. Melawan Golbalisasi
Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 126-128.
2.
^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.Jakarta: ICCE UIN Hidayatullah
Jakarta dan The Asia Foundation, 2006, hal. 302-325.
3.
^ H.A.R Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan Dan
Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya dengan Yayasan
Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation), 2002 hal. 5.
4.
^ a b c M.Dawan Rahardjo. Masyarakat Madani: Agama, Kelas
Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999. hal. xxiii.
5.
^ a b c Burhanuddin, 2003 Civil Society & Demokrasi:
Survey tentang Prtisipasi Sosial-Politik Warga Jakarta. Ciputat:
Indonesianaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Insitute for Civil Society (INCIS). hal 49>
6. ^ a b c d e f g h i j k Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani.
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm 9-11.